Dari Pemecat Sambo ke Arsitek Reformasi Polri: Ahmad Dofiri dan Pertaruhan Harapan Indonesia Baru
PERDISINews.Com—Jakarta 18 September 2025 – Ketika Presiden Prabowo Subianto melantik Jenderal (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian, publik serentak menafsirkan: ini bukan sekadar pengangkatan jabatan, melainkan deklarasi politik bahwa era baru kepolisian harus segera dimulai.
Sebab, yang dilantik bukan sosok biasa. Ahmad Dofiri adalah perwira tinggi yang pernah menjadi simbol keberanian: ia memimpin sidang etik yang berakhir pada pemecatan Ferdy Sambo, kasus yang mencabik wibawa Polri dan mengguncang kepercayaan rakyat. Dari sana, namanya melekat dengan citra ketegasan, disiplin, dan integritas. Kini, sejarah menempatkannya pada panggung yang lebih besar—merancang peta jalan reformasi Polri.
Luka Lama, Tuntutan Baru
Tak bisa dipungkiri, Polri adalah salah satu institusi yang paling banyak mendapat sorotan publik. Dari kasus Sambo, mafia tambang, skandal narkoba, hingga bisnis gelap solar bersubsidi—semua menelanjangi betapa rapuhnya tembok moral di tubuh kepolisian.
Gelombang demonstrasi mahasiswa, aktivis, dan masyarakat pada 25–31 Agustus 2025 adalah bukti: rakyat sudah muak. Mereka menuntut perubahan, bukan kosmetik. Mereka ingin Polri kembali ke khitah: pengayom, pelindung, dan penegak hukum yang adil.
Di tengah krisis kepercayaan itulah, muncul figur Dofiri. Dari pemecat Sambo, kini ia diamanahkan untuk menjadi arsitek reformasi.
Agenda Reformasi: Jalan Terjal yang Harus Ditempuh
Ahmad Dofiri kini memimpin Tim Reformasi Polri, dengan mandat yang jelas: membenahi disiplin internal, memperkuat kualitas SDM, dan membuka transparansi penegakan hukum. Namun publik tahu, jalan ini tidak mulus. Ada gunung kepentingan yang harus dipanjat, ada rawa-rawa mafia hukum yang harus dikeringkan.
Tugasnya bukan sekadar merancang dokumen indah berjudul “peta jalan reformasi”, melainkan memutus mata rantai budaya korup, arogansi, dan kedekatan Polri dengan oligarki.
Yang ditunggu publik adalah langkah nyata:
Apakah mafia tambang, mafia solar, hingga mafia hukum akan dibongkar atau justru dilindungi?
Apakah kasus besar akan diseret ke meja hijau atau tetap ditutup rapat demi kepentingan politik?
Apakah Polri akan berdiri di sisi rakyat kecil atau terus menjadi alat kekuasaan?
Simbol atau Substansi?
Pelantikan Dofiri membawa dua kemungkinan: menjadi simbol keberanian perubahan atau justru hanya hiasan politik untuk meredam amarah publik. Semua bergantung pada seberapa jauh mandatnya benar-benar didukung penuh Presiden, dan seberapa berani ia menabrak tembok resistensi di internal kepolisian.
Publik tentu masih skeptis. Sudah terlalu sering jargon “reformasi Polri” terdengar, tapi yang lahir hanya pergantian seragam, slogan, dan seremoni. Kali ini, harapan rakyat sederhana tapi fundamental: lihatkan hasil, bukan sekadar janji.
Harapan Indonesia Baru
Jika Ahmad Dofiri berhasil, sejarah akan mencatatnya bukan hanya sebagai “pemecat Sambo”, tetapi sebagai arsitek Indonesia baru yang berani merombak kepolisian dari dalam. Sebab tanpa Polri yang bersih, reformasi sektor lain akan lumpuh.
Indonesia baru yang diimpikan rakyat adalah negara di mana hukum tidak diperjualbelikan, polisi tidak berbisnis dengan mafia, dan aparat kembali menjadi pelindung, bukan ancaman.
Kini bola ada di tangan Dofiri. Apakah ia akan mampu mengubah Polri menjadi institusi yang jujur, transparan, dan berpihak kepada rakyat—atau justru terjebak dalam lingkaran setan yang sama?
Satu hal pasti: rakyat menunggu, dan sejarah tidak akan memberi ampun bagi siapa pun yang menyia-nyiakan momentum ini.
Tim : PERSISINews. Com







